Derasnya air di muara Jambo Aye, pada pagi, Minggu 18
Desember 2016, benar-benar memacu adrenalin kami. Ketika itu, saya sempat
berpikir antara kematian dan makna sebuah persahabatan.
Ceritanya begini pemirsa. Pagi itu, saya, Jamal, Malek,
dan Sabri berangkat ke muara Jambo Aye untuk memancing ikan. Itu sudah kami
rencanakan dua hari sebelumnya.
Tujuannya, untuk mengurangi jenuh atau tingkat
an stres karena kesibukan aktivitas masing-masing
setiap hari. Ya, anggap saja itu adalah sebuah tamasya, kami menyebutnya
"meuramin" (bahasa daerah).
Bukan tak beralasan, kami memilih tempat itu. Selain
irit dibiaya, lokasi ini juga menyuguhkan panorama yang tak kalah indah dengan
tempat piknik ternama di berbagai daerah, hehehe.
Sebelum berangkat, tentu sudah kami persiapkan bekal,
seperti umpan pancing, snack, kopi, hingga air mineral untuk mencegah
dehidrasi.
Kami juga membawakan panci, beras, kemudian garam,
jeruk nipis, kecap, cabai rawit, hingga pisau dan sebilah parang. Rencana awal
memang mau memasak nasi dan bakar ikan di lokasi pemancingan.
Ngomong-ngomong, ada yang sudah pernah makan nasi
dimasak menggunakan air campuran; air asin dan air tawar, belum? Benar-benar
bikin ketagihan lho.
Selain pancing, kami juga membawakan satu lembar jaring
ikan. Bermaksud, kalau tidak disambar di mata kail. Tentu, ada jaring yang kami
andalkan untuk menangkap ikan. Kami benar-benar rakus ya? Wkwkwk.
Maklum, bila ikan los dari mata kail, maka masih punya
solusi jaring. Bila tidak, apa yang akan kami bakar di siang itu. Ya kan?.
Tibalah kami di pinggir muara, pagi itu. Kami sepakat,
bantaran di seberang sini (pinggiran muara yg kami temui pertama) sepertinya
kurang cocok dijadikan lokasi pemancingan saat itu.
Menyeberang sungai, saya pikir juga tidak mungkin.
Karena seorang teman kami; fobia kedalaman. Dan teman ini, sudah mengatakan
jauh hari sebelumnya. Masuk akal. Karena dia tidak bisa berenang. Ah, ada-ada
saja, hahahaha.
Saya sempat putar otak sejenak. Lalu, tak lama kemudian
tiba-tiba saya melihat salah satu abang sepupu yang tak jauh dari lokasi kami
singgah tadi. Mereka juga berempat, termasuk satu orang anak kecil.
Saya mendatanginya. Kami mengobrol beberapa saat.
Rupanya Abang saya ini, juga hendak menyeberang muara untuk memancing dan
menjaring ikan. Dia termasuk salah satu 'penggila' memancing.
Meski bukan warga setempat. Tetapi mayoritas masyarakat
di daerah itu, hampir semua dikenalinya. Sehingga, tak menyulitkan dia untuk
meminjamkan sampan nelayan setempat.
Kami juga diajak menyeberang bersama mereka. Saya dan
dua teman lainnya, langsung sepakat. Tetapi, kawan satu lagi terlihat gusar. Ya
ampun, saya hampir lupa kalau kawan yang satu ini takut kedalaman.
Meski menyimpan rasa takut. Tetapi dari mimik wajah,
sepertinya ia juga ingin ikut bersama kami. Dan kami-pun juga tidak akan
meninggalkan dia sendirian. Beginilah cara kami bersahabat.
Selain air yang dalam, deras, tak ada pelampung pula
(safety). Tentu ini sebuah risiko yang sangat berbahaya. Dua teman lainnya
menyerah. Mereka mengaku hanya bisa berenang menyelamatkan diri mereka masing-masing,
bila kecelakaan terjadi. Anjriit!.
Ini adalah sebuah tantangan yang menegangkan. Sebelum
sampan tiba. Saya dan dua teman lainnya, mencoba menenangkan detak jantung
kawan ini yang semakin tak beraturan.
Bila kecelakan atau sampan terbalik ketika berlayar.
Saya minta dia tidak panik, karena bisa menyebabkan hilang kontrol.
Langkah kedua yang harus ia patuhi adalah tidak meronta
saat berada di dalam air (bila musibah terjadi). Mengapa? Karena, posisi tenang
akan dapat memudahkan saya membantu dia.
Aku sempat bergumam juga lho, bila musibah terjadi
(mudahan-mudahan tidak), apakah saya mampu menolong teman ini berenang, seperti
saat saya masih berlatih secara otodidak, lebih dari 8 tahun lalu.
‘Boh jok boh beulangan, wate trok baro taboh nan, beuk
sampe boh jok boh trueng, wate troek kapayah plung,’ khak, hahahaha. Ah, ya
sudah, lupakan berandai-andai.
Sampan sudah tiba di depan kami. Rombongan abang sepupu
sudah duluan berada di dalamnya. Malek dan Sabri, adalah orang pertama di
antara kami yang menaiki perahu. Lalu disusul Jamal, dan terakhir saya.
Idealnya, sampan ini hanya mampu menampung lima
penumpang orang dewasa. Tetapi kami memaksa menumpanginya: 8 orang sekaligus.
Ini benar-benar gila. “Tidak mungkin,” pikirku dalam hati.
Benar saja. Sampan yang kami tumpangi hampir tenggelam
sebelum berlayar. Hanya tinggal beberapa sentimeter lagi dengan air. Tegang.
Saya adalah orang pertama yang meloncat ke darat. Lalu disusul kawan yang tidak
bisa berenang tadi.
Daripada tenggelam. Lebih baik, lelah mendayung sampan
mengarungi lebih dari 100 meter lebar muara, dengan air yang cukup deras, serta
berombak itu. Kami sepakat membuat menjadi dua gelombang penyeberangan.
Rombongan pertama ditumpangi enam orang; termasuk satu
anak kecil dan dua teman saya. Sementara saya dan teman tadi, pilih menunggu
dijemput dalam rombongan berikutnya.
Giliran kami mengarungi muara sangar itu. Saya minta
kawan tadi untuk duduk di tengah dan memegang tali pengikat sampan. Saya dan
abang duduk di antara ujung sampan. Kami menjadi pendayung, melawan derasnya
air berombak di muara itu.
Kawan ini benar-benar terlihat pucat pasi. Mungkin saja
dia berdoa atau bernazar supaya selamat. Saya mencoba mengajak mengobrol. Tapi
wajahnya, seperti tak bersahabat. Dan obrolan baru mengalir ketika sampan
berada di pinggir muara, hahaha.
Kamipun sampai di lokasi tujuan.
Sabri dan Malek, pelempar joran pancing pertama. Tak
lama berselang. Strike. Sejenis ikan patin- kami menyebutnya ikan bagok-
menyambar mata kail Sabri. “Hoi, ilong ka ikap,” Sabri mengabari setengah
berteriak.
Kami larut berjam-jam mamancing sambil bercanda. Tetapi
saya tidak begitu fokus, karena tidak ada satupun ikan kerapu menyambar mata
kail. Saya lebih memilih menikmati indahnya pantai, sedari memasak nasi, dan
membakar ikan bandeng yang masuk perangkap jaring.
Di bawah rimbunnya pohon pandan serta jenis pohon
lainnya, saya berteduh, dan benar-benar menikmati panorama di sekitar lokasi.
Sementara Jamal, Malik, dan Sabri, begitu menikmati “meuramin” ini, di bawah
terik panas sedari memegang erat gagang pancing.
Dari ujung telepon genggam, seseorang mengabari abang
sepupu, bahwa ibunya- Wawak saya juga- masuk rumah sakit. Kami pun harus
mengakhiri “meuramin” ini. Dan segera bergegas menyeberang untuk pulang.
Rombongan kembali dibuat menjadi dua. Kali ini, Sabri
masuk gelombang pertama. Sementara Malik, Jamal, dan saya berada gelombang
terakhir.
Derasnya air sungai itu benar-benar dapat memacu
adrenalin. Hening. Tak ada percakapan seperti saat kami memancing tadi. Tegang.
Karena derasnya air melebihi saat pertama kami menyeberang.
Saya kembali bergumam; seadainya perahu benar-benar
tenggelam. Sepertinya aku tidak sanggup menolong kawan itu berenang. Tenagaku
terkuras dengan berlarian kecil di pantai, sekaligus bermain air, hampir
seharian.
Tetapi tidak mungkin juga, saya membiarkan dia meronta-ronta
minta tolong (seandainya kecelakaan), dan tenggelam bersama perahu di muara
itu. “Apapun ceritanya, saya harus membantu, hidup atau mati.”
Alhamdulillah kami selamat. (*)